CINTAKU (BUKAN) DI CAUSEWAY BAY – BAB 10

Dilamar

nangisDalam perjalanan pulang ke rumah, aku galau bukan main. Buatku, ini seperti berjudi dengan taruhan yang besar. Ehm… mungkin kira-kira begitu. Dalam bayanganku, pilihan dan konsekuensinya bakal dahsyat.. Apa yang harus kulakukan? Aldi. Dia sudah kembali ke Jakarta. Ehm… Katanya sih demi aku. Tapi rasanya hati ini kok masih ragu. Tidak tahu… aku benar-benar bingung…

Sesampainya di rumah, aku langsung mencari Mama.

“Maaa!!” aku memanggilnya begitu memarkir mobil dan masuk ke dalam rumah.

“Ya Sa. Jangan teriak-teriak gitu ah! Mama nggak budeg loh Sa,” sahut Mama kalem sambil berjalan ke arah ruang tamu.

“Ma. Papa mana?” tanyaku.
“Biasa, lagi ke tetangga.”

“Ma, Sasa bingung nih… ” lalu aku mendadak terdiam. Entah kenapa, tenggorokan ini rasanya tercekat. Dan tiba-tiba aku tidak bisa menahan tangis.
“Sasa… sini nak..” kata Mama yang lalu memelukku. Aku sesenggukan makin menjadi. Setelah agak reda, aku menceritakan semua isi hati yang kupendam belakangan ini.
“Sa.. Mama kan sudah bilang, kalau semua terserah kamu.”
“Iya, Sasa ngerti itu, tapi Sasa bener-bener bingung Ma. Buat Sasa, meneruskan hubungan dan berharap menjadi lebih baik kan juga butuh waktu, tidak bisa instan. Tapi sampai kapan, Sasa nggak tahu. Iya kalau ke depannya makin baik. Kalau enggak bagaimana? Kalau Sasa putuskan selesai, dan ternyata lebih baik, bagaimana? Tapi kalau Sasa putuskan lanjut, dan ternyata setelah sekian lama, tidak ada perubahan, bagaimana? Antara buang waktu, atau buang kesempatan kan Ma… Sasa bingung…” aku pun menangis lagi.

“Sasa… kehilangan apa yang memang tidak bisa dipertahankan, menurut Mama akan lebih baik, ketimbang mempertahankan apa yang seharusnya tidak perlu dipertahankan… Kalau hidupmu tanpa Aldi tetap bisa kamu jalani dengan baik, mengapa harus dipaksakan?”

Aku terdiam…

Selama ini, Mama rupanya tetap memonitor kehidupanku, Mama memintaku untuk menjalaninya dulu.

“Mama cuma bisa kasih masukan dan nasihat Sa. Tapi Mama harap kamu mengerti dan mengambil keputusan dengan benar. Hidupmu ke depan harus jauh lebih baik. Sebab hidup berdua dalam pernikahan itu tidak gampang. Kamu harus selalu mempertimbangkan, apakah Aldi akan menjadi suami yang baik, atau tidak. Kalau iya, teruskan. Tapi kalau tidak, lebih cepat lebih baik memutuskan. Supaya ke depan juga kamu bisa menata hidup dengan pikiran lebih jernih. Tidak hanya berkutat soal Aldi… Bagaimana?” 

“Iya Ma….” aku menatap Mama yang tersenyum, lalu memeluknya.

“Terima kasih Ma. Doakan Sasa ya Ma…”

“Pasti!” kata Mama sambil mengusap-usap punggungku.


Malam itu, Aldi mengajakku keluar makan. Tanpa disangka, di tengah kami sedang menunggu makanan, Aldi menyodorkan sebuah kotak kecil.

“Apa ini?” tanyaku.

“Aku mau kamu jadi pasangan hidupku Sa…” jawab Aldi sambil membuka kotak kecil itu. Mendadak aku menangis… 

“Sa… kenapa? Aku tidak mau memaksa. Putuskan saja yang terbaik. Aku siap…” kata Aldi.
“Setidaknya malam ini aku sudah menjelaskan keyakinanku bahwa kamulah pasangan terbaikku…” lanjutnya.

Beberapa detik seperti senyap… Aku menunduk dan terdiam.

Memoriku kubiarkan terus melanglang ke masa lalu. Dimana aku pertama kali bertemu Aldi, lalu menjalani hubungan yang lebih serius. Sampai pada saat dimana aku merasa Aldi mulai jauh, dan begitu yakin persepsiku benar. Sekalipun Aldi sudah menceritakan semuanya, dan bahwa aku sudah salah kaprah menerjemahkan kejadian yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku berusaha menenangkan diri. Aldi kulihat agak tegang, menanti jawabanku. Sekaligus jadi saksi keanehan reaksiku malam itu. 

“Boleh aku minta waktu 1 minggu? Setelah apa yang terjadi selama ini, aku masih bingung. Sorry ya Di…” kataku.

“Iya. Nggak apa Sa…” suara Aldi agak bergetar. Dia menarik lagi kotak kecil itu.
“Aku akan menunggu…” lanjutnya.

Tidak berapa lama, makanan datang. Kami ngobrol tentang hal-hal lain, diluar topik hubungan. Setelah selesai Aldi mengantarku pulang ke rumah. 

“Thank you Di…” kataku.
“Sama-sama Sa. Aku balik dulu ya,” jawabnya.
“Iya, hati-hati Di.”
Aku melihat mobil Aldi menjauh. Aku pun masuk ke dalam rumah.

Keesokan hari, aku bertemu Anton.

“Sa. Kok semalem nggak ada kabar?” tanya Anton penasaran.
“Ehm… Iya…”
“Sorry Sa. Kalau nggak mau cerita nggak apa-apa. Kita ganti topik…”
“Mau cerita sih Ton…”
Dan aku pun menceritakan kejadian malam kemarin.

“Menurut gua sih, Aldi orangnya baik Sa. Tapi elu butuh waktu untuk membuka hati lu lagi. Sebagai cowok, gua juga suka bingung sih dengan reaksi cewek. Hehehe… Tapi that’s good Sa. Setidaknya elu akan lebih mantap ke depannya. Iya kan?”

Aku mengangguk. Lalu kami ngobrol yang lain sampai… seperti biasa… lupa waktu.

Anton mengantarku pulang ke rumah.
“Sa. Besok gua ke Surabaya ya. Keep in touch ya Sa!” kata Anton sebelum aku turun mobil.

“Sip!” sahutku. 

to be continued:
https://godmeandmydiary.wordpress.com/2017/04/02/cintaku-bukan-di-causeway-bay-bab-11/

 

About Inspirations

Hi. I am just an ordinary person who loves to write about life, faith, relationship, and love.
This entry was posted in Fiksi/Fiction. Bookmark the permalink.

Leave a comment